Kamis, 12 Februari 2009

H. Muhammad Rodja: Keluarganya Pernah Menampung Bung Karno


Ia sangat familiar di kalangan aktivis gerakan buruh di Tanah Air. Keterlibatannya sebagai aktivis hingga menata karir sebagai anggota DPRD DKI tak lepas dari ayahnya yang juga seorang aktivis dan pendiri NU Cabang Ende di Pulau Flores. “Keberhasilan ini berkat inspirasi ayah dan ibu serta saudara-saudara saya,” kata H. Muhammad Rodja.

MENTAL tahan banting dalam menjalani hidup bagi sebagian besar orang Flores di mana saja berada, sudah pasti tertanam dalam hati. Apalagi, sudah memutuskan untuk merantau guna mencari pengalaman atau meningkatkan taraf hidupnya. Apalagi, semangat juang yang dimiliki kebanyakan orang Ende sepertinya sudah tertanam sejak jaman penjajah.

“Khusus orang Ende, darah untuk melawan penjajah itu sudah ada sejak dahulu. Dulu perlawanan melawan penjajah dilakukan ayah saya H. Abdulrahman Rodja dan ayah Pak H. Muhyidin Aroeboesman. Kita tahu, Pak Muhyidin saat ini salah satu pengurus Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU). Sedangkan ayah saya itu bekas anggota DPRD Kabupaten Ende periode pertama. Nah, saya mendapat cerita ayah bagaimana mereka berjuang melawan Belanda,” kata Pak Rodja –sapaan akrab H. Muhammad Rodja– kepada FLORES POS di kediamannya, Jakarta Selatan.

Pria kelahiran Ende, Flores, 7 September 1946 ini memiliki catatan panjang dalam dunia pergerakan dan politik. Diakuinya, ia sudah terlibat aktif dalam jagad politik lokal sejak masih kecil. Bahkan, diakuinya, udara pergerakan bukan hal baru di lingkungan keluarga besarnya, Rodja. Ayahnya, Abdulrahman Rodja, juga berkawan karib dengan sejumlah petinggi negara saat itu.

Abdulrahman Rodja, misalnya, adalah orang dekat Dr Sutomo saat meletus insiden 10 November di Surabaya, Jawa Timur yang akhirnya tanggal tersebut ditetapkan sebagai Hari Pahlawan. Kemudian, pada 1958, ayah Rodja juga mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) Cabang Ende.

“Sebelumnya, salah satu rumah keluarga kami juga dijadikan tempat penampungan Bung Karno saat dibuang Belanda di Ende. Peristiwa ini menjadi sejarah yang tak pernah kami lupakan selama hidup. Kami bangga karena seorang Bung Karno berkenan tinggal di rumah keluarga kami,” kata Rodja bangga.

Terlibat di Partai Politik

Sebagaimana orang Flores umumnya, banyak juga yang terlibat di pentas politik nasional daerah maupun nasional. Sebut saja Frans Seda, Sonny Keraf, Benny Harman, Anton A Mashur, Jacob Nuwa Wea, Cypri Aur, dan lain-lain. Begitu juga Rodja yang merintis karir di orgaanisasi mulai dari bawah. Dalam sebuah buku karyanya, dikisahkan Rodja muda sudah menjadi Sekretaris Partai Politik (Parpol) Nahdlatul Ulama Cabang Ende. Padahal, saat itu usianya baru merambat ke angka 20 tahun. Kematangan organisasi yang ia dapat di kampung memudahkannya saat masuk Jakarta.

Nah, setelah tamat di SPG Negeri Ende tahun 1966, ia masuk Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Jakarta. Di situ ia aktif sebagai anggota Resimen Mahasiswa dan kemudian tahun 1968–1971 menjadi pelatih Resimen Mahajaya.

Sejak hijrah ke Jakarta, kegiatannya di Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) bermula dan terakhir menjadi Ketua Pengurus Besar (PB) PMII periode 1978–1981. Periode waktu yang sama dipercaya menjadi Ketua DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).

Kemudian, pada 1972–1974 ia menjabat Wakil Sekretaris Nahdlatul Ulama Wilayah DKI. Setelah NU memfusikan kegiatan politiknya ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tahun 1973, Rodja hanya menjadi Sekretaris DPC PPP Jakarta Selatan tahun 1974–1979.

Dalam menitik kariernya di bidang politik, ia punya filosofi bahwa seorang politikus kalau mau besar harus merangkak dari bawah. Kepercayaan pun terus diberikan. Ia pernah menjadi Wakil Ketua DPC Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Jakarta Selatan. “Kemudian pada periode 1984–1989 saya dipercaya menjadi Ketua DPC PPP Jakarta Selatan. Ini buah kerja keras yang saya tunjukkan selama aktif di organisasi politik,” jelas Rodja.

Anggota DPRD DKI

Berkat komitmen dan kerja keras, karir politiknya terus bersinar. Pasalnya, saat di DPC PPP Jakarta Selatan, ia masuk menjadi anggota DPRD DKI tahun 1987. Sebelum melangkah ke Kebon Sirih (kantor DPRD DKI), pada 1990–1995 ia menjadi Sekretaris DPC PPP DKI Jakarta. Saat menjadi anggota DPRD DKI 1987, ia duduk sebagai Ketua Komisi B. Komisi ini membidangi keuangan dan kekayaan daerah. Kemudian ia menjadi anggota Komisi D yang membidangi pembangunan.

Rodja termasuk telaten mengurus organisasi. Hal ini dilakukan saat masih di Ende. Saat memulai aktivitas bidang kepemudaan, ia juga termasuk orang yang memprakarsai berdirinya Gerakan Pemuda Anshor Cabang Ende pada 30 September 1965. Dalam buknya, dikisahkan Rodja memobilisasi pemuda Ende untuk menumpas PKI di wilayah itu. Berkat prestasinya itu, Rodja mendapat Tanda Penghargaan dari Kopkamtib Kabupaten Ende, Ngada, dan Manggarai pada 1 Februari 1967.

Dunia buruh bukan lagi hal baru. Berbagai jabatan di organisasi perburuhan Tanah Air pernah dipegangnya. Ia pernah duduk sebagai Wakil Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Sektor Sandang dan Kulit periode 1990–1995. Posisi ini mengantar Rodja menjadi pembicara dan peserta berbagai seminar dalam dan luar negeri. Rodja, pernah menjadi ketua delegasi Indonesia dalam seminar Pemuda Asia Pasifik di Tokyo, Jepang tahun 1979.

Di lain sisi, bakat menulis pun terus diasahnya. Berbagai artikel opini menghiasi majalah dan surat kabar yang terbit di Jakarta. Misalnya, Panji Masyarakat, Bisnis Indonesia, Media Indonesia, Pelita, Angkatan Bersenjata, Berita Buana, Suara Pembaruan, Harian Terbit, Berita Yudha, dan lain-lain.

Ayah tiga anak hasil pernikahan dengan Hj. Cholilah binti Haji Muhammad Dien ini juga menaruh perhatannya pada masalah buruh. Sekadar tahu, Bu Hj. Cholilah binti Haji Muhammad Dien juga seorang aktivis. Ia pernah menjadi pengurus PB Muslimat NU dan Wakil Ketua DPC PPP Jakarta Selatan.

“Orang-orang Flores sebenarnya punya kemampuan intelektual luar biasa. Sekarang tinggal mereka mengambil bagian dalam berbagai kegiatan untuk menempah dirinya. Ya, satu saat kita juga bisa memiliki orang-orang setenar nama Pak Frans Seda atau Pak Haji Muhyidin Aroeboesman. Kita punya kemampuan, kok,” katanya. (Ansel Deri)

Fadly Nurzal : PPP tidak akan durhaka pada umat

MEDAN - Ketua DPW Partai Persatauan Pembangunan (PPP) Sumatera Utara Fadly Nurzal yang dikenal sebagai politisi santun, mengatakan PPP harus dekat dengan ulama dan umat. Sebab kekuatan PPP ada pada sentuhan umat dan PPP dilahirkan dari para ulama, karenanya PPP adalah anak kandung umat. Sebagai anak kandung umat, PPP tidak akan durhaka pada umat.

"Peka, peduli dan reaktif terhadap kepentingan umat adalah tampilan hari-hari yang secara konsisten harus kita lakukan. Aspirasi dan kepentingan umat tentu juga berbeda-beda, karena itu kita harus santun menanggapi aspirasi itu, jangan sampai umat terabaikan," kata Fadly Nurzal pada acara silaturahmi dengan masyarakat dan tokoh agama di kecamatan Bajenis Kota Tebing Tinggi baru-baru ini didampingi Ketua DPC PPP Tebing Tinggi, Safrizal.

Lebih lanjut Fadly menyebutkan, PPP ini adalah partai tertua yang telah melewati terjalnya tebing politik dan tajamnya karang demokrasi dari satu fase ke fase berikutnya. Namun, PPP masih tetap eksis dan dapat melayani umat karena di tubuh PPP mengalir keikhlasan para ulama pendirinya serta kader-kadernya. Ini adalah potensi yang harus senantiasa lestari di tubuh PPP. 

"Karena itu kepada masyarakat di Tebing Tinggi kami mohon doa, nasehat serta dukungan terhadap perjalanan partai ini," ucapnya.

Sutiyem mengakui, kader-kader PPP saat ini memperlihatkan keikhlasan dalam berjuang membela kepentingan umat dan mereka tampil sederhana. Tampilan inilah yang kemudian membuat masyarakat simpatik kepada partai yang berlambangkan ka'bah ini.  

"Contohnya Pak Fadly yang sejak dulu saya kenal selalu apa adanya dan tetap ramah walau sudah menjadi anggota DPRD," ucap Sutiyem yang sehari-hari berjualan keripik.